Hentikan Penangkapan dan Pembunuhan Hiu!
![]() |
(Bangkai hiu yang ditemukan di 16 m di spot Blue Magic, Raja Ampat, Papua pada 27 Desember 2015. Foto: Fredrik Jacobsson) |
Kabar menyedihkan datang dari kepulauan Raja Ampat, Papua, pada 27 Desember 2015 lalu. Tak disangka, di kawasan menyelam yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan dilindungi itu, ditemukan ada bangkai hiu dengan sirip yang telah hilang. Dua ekor bangkai hiu itu ditemukan di spot, Blue Magic, pada kedalaman 16 meter.
Awalnya, keberadaan hiu mati itu diunggah oleh seorang PADI Instructor, Fredrik Jacobsson dalam akun facebooknya. Postingan itu kemudian menjadi viral, hanya dalam waktu singkat.
“Ketika mendekat, saya menyadari siripnya sudah tidak ada,” tulis Fredrik Jacobsson dalam akun facebooknya.
Selama ini, Raja Ampat terkenal karena memiliki tingkat konsentrasi keanekaragaman biota laut tertinggi di dunia, dengan 75% dari seluruh jenis terumbu karang di dunia dan sedikitnya 1.320 spesies ikan.
Karena kekayaan biotanya, Kabupaten Raja Ampat akhirnya mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012 Tanggal 22 Oktober 2012 tentang larangan penangkapan ikan hiu, pari manta, dan jenis-jenis ikan tertentu di perairan laut Raja Ampat.
Khusus untuk hiu sesuai Perda, beberapa yang dilindungi adalah: whale sharks, bintang hiu gurano bintang, thresher sharks (alopiidea), macherel sharks (limnidae), pristidae, rhyncobatidae, rhinidae, ginglymostomatidae, sphyrinidae, carcharhininidae, bamboo sharks (hemiscyllidae, mandemor/kalibia), scylirhinidae, dan stegostomatidae.
“Sejak 2012, sudah ada perda hiu, pari dan lain. Kami punya peraturan daerah itu. Masyarakat pada prinsipnya, sudah tahu, kami sudah melakukan sosialisasi di tingkat kabupaten”, ujar Adrian Yusuf Kaiba, Kepala Unit Pelaksana Teknis Kawasan Konservasi Perairan Daerah pada DKP Raja Ampat (UPTD BLUD KKLD Raja Ampat) kepada Eco Diver Journalists.
Sejak 20 Februari 2013, peraturan yang dideklarasikan di Waisai itu menetapkan Kabupaten Raja Ampat dengan seluruh wilayah perairan seluas 4 juta hektar sebagai wilayah perlindungan hiu. Raja Ampat kini sama seperti Palau, Kepulauan Maldives, Bahama, Honduras, Kepulauan Marshall, dan Tokelau, sebuah kawasan yang berkomitmen tidak memburu atau menangkap hiu.
Oleh sebab itu, ketika informasi tentang 2 bangkai hiu muncul di media sosial, beragam reaksi bermunculan. Peristiwa yang terjadi di dalam perairan konservasi itu dikhawatirkan pegiat lingkungan bukanlah yang terakhir. Pasalnya, permintaan sirip hiu masih tinggi untuk diperjualbelikan. Data WWF menyebutkan 109.000 ton sirip hiu dunia per tahun berasal dari Indonesia dan 74.000 ton berasal dari India per tahun.
Selama ini, permintaan sirip hiu meningkat untuk menu jamuan besar. Itu sebabnya perburuan hiu marak terjadi sejak dua pekan sebelum akhir tahun, mengingat ada banyak hari libur dan perayaan yang terjadi di bulan Desember.
"Di banyak negara, seperti Tiongkok, jamuan hiu masih banyak dipilih sebagai menu utama, di hari-hari istimewa,” ujar Jekson Simanjuntak, Ketua Eco Diver Journalists.
Sejauh ini, kejadian di Raja Ampat, bukan yang pertama. Perburuan hiu secara masif pernah terjadi, ketika kapal-kapal ilegal pencari ikan masih bersileweran di perairan Raja Ampat. Namun sejak banyak kapal yang dibakar, penangkapan hiu mulai berkurang.
“Terakhir penangkapan hiu besar-besaran terjadi pada 2015 awal. Saat kapal-kapal asing masih beroperasi. Setelah ditangkap, tidak ada data lagi soal penangkapan hiu”, ujar Adrian Yusuf Kaiba.
Selain itu, dalam tradisinya, masyarakat Raja Ampat, Papua bukanlah pengkonsumsi hiu. Itu sebabnya, masyarakan Raja Ampat tidak akan melakukan perburuan hiu.
“Masyarakat yang ada di Raja Ampat, kebudayaannya tidak mengkonsumsi budaya. Karena tidak mengkonsumsi hiu, maka masyarakat tidak ada yang menangkap hiu”, ujar Adrian Yusuf Kaiba.
Hingga kini, tak jelas siapa yang melakukan pembunuhan hiu abu-abu, yang dikenal dengan sebutan “shark grey” di Blue Magic, Raja Ampat, Papua. Penyelidikan soal itu pun belum membuahkan hasil. Pihak UPTD BLUD KKLD Raja Ampat menilai ada nelayan, yang mungkin masyarakat Raja Ampat atau dari luar yang coba-coba berburu hiu, karena telah mengetahui nilai ekonomis sirip hiu.
“Kami mencurigai ada beberapa nelayan, yang kebetulan tahu hiu itu punya nilai ekonomis tinggi dari sirip, sehingga pada waktu tertangkap 2 ekor hiu itu, mereka mengambilnya’, ujar Adrian.
Pihak UPTD BLUD KKLD Raja Ampat yang mendapat kabar itu, segera melakukan pengecekan ke lapangan. Hasilnya mereka menemukan 2 ekor hiu yang mulai membusuk dengan sirip telah hilang.
“Saat itu diupload, sehingga kami menganalisa dan kami lihat ke lapangan yang ada cuma 2 ekor itu”, papar Adrian.
Temuan bangkai hiu tanpa sirip di Raja Ampat dikhawatirkan hanyalah cerminan dari perburuan hiu yang lebih besar dan bisa terjadi di tempat yang sama. Pasalnya, tidak tertutup kemungkinan jika pelakunya sedang melakukan “test the water” di lokasi Blue Magic, yang terlanjur diketahui para penyelam. Pasalnya, jika informasi itu tidak menjadi viral, hal-hal buruk mungkin saja terjadi.
Oleh karena itu, terkait temuan bangkai hiu tanpa sirip di Blue Magic, Raja Ampat, Papua, Eco Diver Journalists menyerukan:
1. Pengetatan pengelolaan hiu, mengingat keberadaan biota itu sangat penting untuk menjaga ekosistem laut. Terlebih jumlah species ikan ini telah mengalami penurunan lebih dari 75 persen, bahkan untuk jenis tertentu mencapai 90 persen atau lebih.
2. Pengawasan yang lebih ketat oleh Pemda Raja Ampat dan aparat terkait, sehingga aturan larangan menangkap Hiu dan Pari Manta tidak berujung hanya sebatas larangan tanpa makna. Salah satunya dengan memperketat perizinan nelayan mencari ikan di Raja Ampat karena kawasan ini dilindungi.
3. Hentikan mengkonsumsi sirip hiu, karena masih banyak sumber makanan lain yang kaya glukosamin (baca: yang terdapat dalam tulang rawan hiu), seperti tulang rawan ayam, teripang, termasuk ikan teri.
4. Perlunya koordinasi dan sinergitas antara pemerintah dengan pihak-pihak terkait (resort dan pengelola paket wisata), sehingga informasi yang diterima masyarakat telah melalui verifikasi dan konfirmasi. Pasalnya, pernah terjadi informasi yang beredar ternyata tidak benar. Contohnya, ketika ada yang menggunggah kerusakan karang di Melissa Garden. Namun setelah dilakukan pengecekan hal itu hanya hoax.
Saat ini, hiu memegang peranan penting dalam ekosistem laut. Hiu hadir sebagai penyeimbang kestabilan di ekosistem. Sayangnya, Indonesia turut andil dalam kepunahan hiu, setidaknya dalam beberapa dekade tarakhir. Data FAO mengungkap jika Indonesia menangkap sekitar 13% total tangkapan hiu dunia. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut telah terjadi peningkatan pada ekspor daging hiu, yakni 1.746,6 ton pada 2012, 1.954,5 ton pada 2013, dan 2.280,2 ton pada tahun 2014. Oleh karena itu, tak ada cara lain, selain hentikan penangkapan maupun perburuan hiu, mengingat jumlahnya yang terus menyusut. (Red)
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
-Jekson Simanjuntak, Ketua Eco Diver Journalist (081219845993)
-Sugiharto Budiman, Sekjen EDJ (08158938775).
Tentang Eco Diver Journalists (EDJ)
Eco Diver Journalists (EDJ) adalah organisasi jurnalis lingkungan yang bertujuan meningkatkan pemahaman publik akan isu sumber daya alam kelautan melalui liputan jurnalistik yang berkualitas dan memberi dukungan peningkatan kapasitas kepada jurnalis, serta berperan aktif dalam upaya-upaya pelestarian sumberdaya alam kelautan.
-Jekson Simanjuntak, Ketua Eco Diver Journalist (081219845993)
-Sugiharto Budiman, Sekjen EDJ (08158938775).
Tentang Eco Diver Journalists (EDJ)
Eco Diver Journalists (EDJ) adalah organisasi jurnalis lingkungan yang bertujuan meningkatkan pemahaman publik akan isu sumber daya alam kelautan melalui liputan jurnalistik yang berkualitas dan memberi dukungan peningkatan kapasitas kepada jurnalis, serta berperan aktif dalam upaya-upaya pelestarian sumberdaya alam kelautan.
Tidak ada komentar