PR Indonesia Pasca COP21
![]() |
(KTT Perubahan Iklim ke-21 di Paris, Prancis, Source: ist) |
Konferensi tingkat tinggi tentang perubahan iklim (COP21) di Paris, Prancis menghendaki semua negara melaporkan pencapaian mereka dalam program pengurangan emisi melalui pembangunan rendah karbon. Kesepakatan Paris (Paris Agreement) menjadi landasan komitmen global pasca 2020.
Paris Agreement yang ditandatangani pada 12 Desember lalu menjadi bukti bahwa masyarakat dunia lebih sadar dan peduli akan pentingnya kolaborasi skala besar untuk mengatasi permasalahan perubahan iklim. Pasalnya, kondisi itu hanya bisa terwujud melalui kerja sama dengan aktor nonpemerintah, termasuk di dalamnya sektor bisnis, kota, dan kelompok masyarakat luas untuk mengesampingkan kepentingan masing-masing demi mengurangi pemanasan global.
Uniknya, dokumen Paris Agreement terkait target kontribusi penurunan emisi yang berisi rencana setiap negara (baca: Intended Nationally Determined Contributions/ INDCs), ternyata sifatnya tidak mengikat secara legal. Saat ini INDCs dari seluruh anggota UNFCCC baru memenuhi setengah dari pengurangan emisi yang diperlukan dan masih meninggalkan kekurangan sebesar 12–16 giga ton emisi.
Meski belum menggembirakan, Eco Diver Journalists (EDJ) memandang Paris Agreement tetap memerlukan penguatan dan dukungan tambahan dari tiap negara. Lewat kedua hal itu, upaya menahan laju pemanasan global di bawah 2,0 derajat celcius atau bahkan 1,5 derajat celcius bisa terwujud.
“Kesepakatan Paris memuat tujuan global sebagai bentuk adaptasi perubahan iklim, termasuk secara terpisah menyebut tentang kerusakan dan kerugian akan dampak perubahan iklim”, ujar Jekson Simanjuntak, Ketua Eco Diver Journalists.
Selain itu, salah satu isu penting dalam perundingan KTT Perubahan Iklim adalah sektor kelautan. Di sesi Leaders Event COP21, beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi telah menyinggung pentingnya isu maritim. Dia menjelaskan, Indonesia memiliki kondisi geografis yang rentan terhadap perubahan iklim karena 2/3 wilayah merupakan laut, dengan 17 ribu pulau, dan banyak diantaranya pulau-pulau kecil, serta 60 persen penduduk tinggal di pesisir.
Disebutkan juga, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi sebesar 29% dibawah business as-usual pada tahun 2030 dan 41% dengan bantuan internasional, dimana bidang maritim menjadi salah satu sektor yang bisa menurunkan emisi karbon, yaitu dengan mengatasi perikanan ilegal (ilegal, unreported, unregulatd/IUU Fishing) dan perlindungan keanekaragaman hayati laut.
Terkait perubahan iklim, Matthew Huelsenbeck (Oceana, 2012) mencatat resiko cuaca ekstrim di Indonesia berada pada peringkat ke-9 dari 10, sebagai negara paling rentang terhadap ancaman keamanan pangan akibat dampak perubahan iklim. Juga menjadi peringkat 23 dari 50 negara paling rentan terhadap ancaman keamanan pangan dari dampak perubahan iklim dan pengasaman laut terhadap ketersediaan hasil laut.
“Karena itu, sekarang saatnya untuk bertindak. Pasalnya, kemauan dan tindakan nyata dari 187 negara sangat dibutuhkan, agar mampu menahan laju pemanasan global di bawah 2,0 derajat celcius”, ujar Jekson.
Sementara itu, kondisi kelautan global, termasuk di Indonesia, mengalami investasi, eksploitasi dan kapasitas yang berlebihan, pencurian ikan (IUU Fishing). Pun tak ketinggalan, konflik diantara nelayan, perubahan iklim dan tidak menentunya stok ikan yang dinamis.
Pemanasan global juga telah mendorong terjadinya pemutihan karang massal di 2009 dan 2010 berdampak pada hingga 40-60% terumbu karang di Indonesia. Fenomena yang sama menyapu 60% terumbu karang pada 1998 yang menghasilkan hamparan karang mati.
Sebuah studi telah memproyeksikan bahwa suhu dan keasaman laut yang meningkat akibat perubahan iklim dapat menurunkan produksi perikanan Indonesia. Bahkan hingga 50% di beberapa daerah penangkapan ikan. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin semua kerja keras yang telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan akan berujung sia-sia, jika langkah antisipasi tidak segera dilakukan.
Sementara itu, lembaga Reef Check Indonesia menemukan ada ancaman serius terhadap perairan laut dan perikanan Indonesia.
“Pemodelan oseanografi menunjukkan bahwa ada pergerakan suhu permukaan air laut yang lebih panas ke perairan Indonesia dalam beberapa bulan ke depan,” ujar Derta Prabuning, Direktur Reef Check Indonesia, dalam rilisnya yang diterima oleh Eco Diver Journalists.
Dikhawatirkan, bulan Februari hingga Juli 2016 menjadi periode paling krusial bagi laut Indonesia. Waktu diantara kedua bulan tersebut diduga menjadi puncak terjadinya pemanasan suhu permukaan laut. Jika tidak ada banyak pengaruh dan variasi lingkungan, kita akan mendapati stress massal di terumbu karang. Selanjutnya karang akan mengalami pemutihan. Dan kondisi terburuk, kita akan menjumpai hamparan karang mati.
Kondisi itu pada gilirannya akan berdampak bagi mata pencaharian nelayan dan sektor pariwisata. Dengan rusaknya rumah ikan, maka nelayan akan sulit untuk mencari ikan. Sementara bagi pariwisata, sebaran karang mati akan memperburuk citra pariwisata Indonesia di mata dunia internasional.
Berkaca dari kondisi itu, Eco Diver Journalists indonesia mendesak pemerintah untuk tidak menunda mengambil langkah tegas sebagai tindak lanjut kesepakatan mengatasi perubahan iklim.
Eco Diver Journalist juga meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan segera menyusun dan menyiapkan langkah untuk memastikan dampak perubahan iklim tidak terjadi secara masif. Pasalnya, kerap kali, skala waktunya sempit dan jangkauan dampaknya luas, dan kadangkala terkendala proses birokrasi yang tidak cepat tanggap.
Prosedur darurat diharapkan bisa mengordinir tim pemantau gabungan yang melibatkan masyarakat lokal dan pelaku usaha untuk mengembangkan aktifitas yang mampu mengurangi dampak terhadap lingkungan laut.
“Termasuk melindungi kawasan-kawasan yang tidak terdampak atau menjadi sumber anakan karang, mengumpulkan data dan informasi selengkap mungkin untuk kemudian dianalisa hingga memunculkan pola mitigasi yang efektif”, pungkas Jekson.
Bagi Indonesia, keinginan mengembalikan kejayaan maritimnya, melawan perubahan iklim bukan suatu pilihan, melainkan keharusan. Oleh sebab itu, capaian yang telah dihasilkan para delegasi di KTT Perubahan Iklim merupakan tantangan besar, jika semua pihak mengambil peran dengan efektif. Salah satunya dengan menjaga keanekaragaman hayati laut Indoneisa yang tersisa. (Red)
Tidak ada komentar