Hiu dan Pari Manta Kini Dilindungi
![]() |
(Saatnya selamatkan hiu dan pari manta. Source: https://i.ytimg.com/vi/wtW986IKLEA/maxresdefault.jpg) |
Beberapa waktu terakhir kampanye tentang perlindungan hiu dan pari manta terus menggema. Meski belum berhasil secara maksimal, kampanye telah berhasil mendorong maskapai penerbangan Garuda Indonesia mengeluarkan kebijakan embargo atas pengiriman kargo sirip hiu.
Selain itu, kampanye anti konsumsi dan perdagangan hiu juga mendapatkan dukungan dari Pemprov DKI Jakarta dengan keluarnya instruksi gubernur tentang pelarangan konsumsi dan perdagangan hiu bagi seluruh staff Pemprov DKI. Selain itu, saat ini pemrov juga sedang menyiapkan Perda yang mengatur restoran atau rumah makan di Jakarta agar berhenti menjadikan hiu sebagai menu sajian dalam makanan yang ditawarkan kepada pelanggan.
Dengan mendukung kampanye anti konsumsi dan perdagangan hiu, Jakarta kini bergabung dengan kota-kota lainnya di dunia yang sudah secara resmi menyatakan dukungannya terhadap perlindungan hiu.
Pemerintah Cina misalnya, memutuskan tidak lagi menghidangkan sup sirip hiu di acara kenegaraan. Australia, melarang shark finning, praktik pengambilan sirip hiu dengan cara yang kejam.
Indonesia merupakan habitat bagi 4 jenis hiu dan 2 jenis pari manta yang tercantum dalam daftar Appendix II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna). Spesies hiu dan pari manta tersebut adalah oceanic whitetip shark, 3 jenis hammerhead shark (scalloped hammerhead, smooth hammerhead, great hammerhead), oceanic manta dan reef manta.
Sebagai tindak lanjut dari CITES, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan perlindungan penuh terhadap hiu paus, oceanic manta dan reef manta, serta menyusun Rencana Aksi Nasional. Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan, melalui Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI) tengah berkolaborasi dengan Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dalam menyusun dokumen-dokumen pelengkap dalam pengelolaan perikanan hiu.
“Penyusunan rencana pengelolaan di tingkat nasional perlu segera dilakukan untuk memastikan penerapan ratifikasi CITES dapat berjalan dengan baik dan populasi hiu dapat terjaga,” ungkap Jekson Simanjuntak, Ketua Eco Diver Journalists.
Hiu merupakan predator puncak dan memiliki peranan penting dalam menjaga kesehatan ekosistem laut. Mengatur perdagangan adalah kunci untuk melindungi spesies hiu dan memastikan laut tetap produktif berkontribusi untuk ketahanan pangan. Diperkirakan 90% populasi hiu di beberapa lokasi di dunia mengalami penurunan drastis. Spesies ini diburu untuk sirip, daging, kulit, minyak hati dan tulang rawannya.
Saat ini, permintaan pasar akan sirip hiu terbesar berasal dari Asia, yang kemudian mendorong penangkapan hiu secara berlebihan yang mengakibatkan penurunan populasi. Salah satunya, sirip oceanic whitetip dan hammerhead yang diburu karena bernilai tinggi. Sementara sepiring produk olahan insang pari manta dicari untuk tonik kesehatan di Cina Selatan.
Oleh karena itu, kerjasama dengan banyak pihak (pemerintah, NGO dan lembaga internasional) diharapkan mampu mempercepat implementasi langkah-langkah baru CITES. Kerjasama itu menjadi bagian dari solusi terpenting untuk mempercepat perbaikan dalam pengelolaan perikanan di negara kepulauan, khususnya Indonesia.
“Meskipun daftar CITES telah dikeluarkan, hingga saat ini belum ada sertifikasi lanjutan untuk sirip hiu di pasar, sehingga produk tersebut harus dihindari”, papar Jekson.
Beruntung, sejak 14 September 2014, 5 spesies hiu dan 2 spesies pari manta yang terancam punah mendapatkan perlindungan serius dari Konvensi Perdagangan Internasional Terhadap Satwa dan Tumbuhan yang Terancam Punah (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna/CITES), melalui peraturan perlindungan dari aktivitas perikanan yang tidak berkelanjutan di pasar perdagangan internasional.
Selanjutnya perdagangan komersil akan diatur untuk memastikan hiu dan pari manta bersumber dari perikanan legal dan diambil dengan praktik berkelanjutan, serta perdagangannya tidak mengancam kelangsungan populasi mereka.
Ketujuh spesies ini dicantumkan dalam daftar Appendix II setelah diperolehnya 2/3 suara mayoritas dari negara-negara yang meratifikasi CITES, termasuk Indonesia.
“Dengan waktu yang tersisa, negara-negara yang meratifikasi CITES diharapkan dapat melakukan persiapan sehingga penerapannya dapat terlaksana dengan baik,“ ujar Jekson.
Oleh karena itu, Eco Diver Journalists, satu-satunya organisasi jurnalis yang peduli dengan isu-isu kelautan berharap regulasi CITES tidak hanya tegas penerapannya, tetapi juga mampu mendorong pengelolaan perikanan berkelanjutan. Pasalnya, jumlah populasi beberapa spesies hiu dan manta yang berstatus langka itu, kini sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan dan tidak layak ditangkap lagi. Dibutuhkan waktu pemulihan untuk menyelamatkan spesies-spesies tersebut dari ancaman kepunahan.
Selanjutnya, Eco Diver Journalists juga mengajak perusahaan dan konsumen di Indonesia agar berhenti membeli, menjual atau mengonsumsi bagian tubuh dari hiu dan pari. Hal ini penting untuk mengurangi permintaan akan produk hiu dan pari manta, selama penangkapan hiu dan pari yang berkelanjutan, dan upaya memperbaiki peraturan perdagangan internasional untuk produk hiu dan pari belum dilakukan.
Sebuah laporan terkini yang dilakukan oleh Shark Specialist Group IUCN tahun 2014 menemukan bahwa hampir seperempat dari semua jenis hiu dan pari manta dunia terancam punah. Informasi selengkapnya bisa dilihat disini. (Red)
Selain itu, kampanye anti konsumsi dan perdagangan hiu juga mendapatkan dukungan dari Pemprov DKI Jakarta dengan keluarnya instruksi gubernur tentang pelarangan konsumsi dan perdagangan hiu bagi seluruh staff Pemprov DKI. Selain itu, saat ini pemrov juga sedang menyiapkan Perda yang mengatur restoran atau rumah makan di Jakarta agar berhenti menjadikan hiu sebagai menu sajian dalam makanan yang ditawarkan kepada pelanggan.
Dengan mendukung kampanye anti konsumsi dan perdagangan hiu, Jakarta kini bergabung dengan kota-kota lainnya di dunia yang sudah secara resmi menyatakan dukungannya terhadap perlindungan hiu.
Pemerintah Cina misalnya, memutuskan tidak lagi menghidangkan sup sirip hiu di acara kenegaraan. Australia, melarang shark finning, praktik pengambilan sirip hiu dengan cara yang kejam.
Indonesia merupakan habitat bagi 4 jenis hiu dan 2 jenis pari manta yang tercantum dalam daftar Appendix II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna). Spesies hiu dan pari manta tersebut adalah oceanic whitetip shark, 3 jenis hammerhead shark (scalloped hammerhead, smooth hammerhead, great hammerhead), oceanic manta dan reef manta.
Sebagai tindak lanjut dari CITES, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan perlindungan penuh terhadap hiu paus, oceanic manta dan reef manta, serta menyusun Rencana Aksi Nasional. Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan, melalui Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI) tengah berkolaborasi dengan Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dalam menyusun dokumen-dokumen pelengkap dalam pengelolaan perikanan hiu.
“Penyusunan rencana pengelolaan di tingkat nasional perlu segera dilakukan untuk memastikan penerapan ratifikasi CITES dapat berjalan dengan baik dan populasi hiu dapat terjaga,” ungkap Jekson Simanjuntak, Ketua Eco Diver Journalists.
Hiu merupakan predator puncak dan memiliki peranan penting dalam menjaga kesehatan ekosistem laut. Mengatur perdagangan adalah kunci untuk melindungi spesies hiu dan memastikan laut tetap produktif berkontribusi untuk ketahanan pangan. Diperkirakan 90% populasi hiu di beberapa lokasi di dunia mengalami penurunan drastis. Spesies ini diburu untuk sirip, daging, kulit, minyak hati dan tulang rawannya.
Saat ini, permintaan pasar akan sirip hiu terbesar berasal dari Asia, yang kemudian mendorong penangkapan hiu secara berlebihan yang mengakibatkan penurunan populasi. Salah satunya, sirip oceanic whitetip dan hammerhead yang diburu karena bernilai tinggi. Sementara sepiring produk olahan insang pari manta dicari untuk tonik kesehatan di Cina Selatan.
Oleh karena itu, kerjasama dengan banyak pihak (pemerintah, NGO dan lembaga internasional) diharapkan mampu mempercepat implementasi langkah-langkah baru CITES. Kerjasama itu menjadi bagian dari solusi terpenting untuk mempercepat perbaikan dalam pengelolaan perikanan di negara kepulauan, khususnya Indonesia.
“Meskipun daftar CITES telah dikeluarkan, hingga saat ini belum ada sertifikasi lanjutan untuk sirip hiu di pasar, sehingga produk tersebut harus dihindari”, papar Jekson.
Beruntung, sejak 14 September 2014, 5 spesies hiu dan 2 spesies pari manta yang terancam punah mendapatkan perlindungan serius dari Konvensi Perdagangan Internasional Terhadap Satwa dan Tumbuhan yang Terancam Punah (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna/CITES), melalui peraturan perlindungan dari aktivitas perikanan yang tidak berkelanjutan di pasar perdagangan internasional.
Selanjutnya perdagangan komersil akan diatur untuk memastikan hiu dan pari manta bersumber dari perikanan legal dan diambil dengan praktik berkelanjutan, serta perdagangannya tidak mengancam kelangsungan populasi mereka.
Ketujuh spesies ini dicantumkan dalam daftar Appendix II setelah diperolehnya 2/3 suara mayoritas dari negara-negara yang meratifikasi CITES, termasuk Indonesia.
“Dengan waktu yang tersisa, negara-negara yang meratifikasi CITES diharapkan dapat melakukan persiapan sehingga penerapannya dapat terlaksana dengan baik,“ ujar Jekson.
Oleh karena itu, Eco Diver Journalists, satu-satunya organisasi jurnalis yang peduli dengan isu-isu kelautan berharap regulasi CITES tidak hanya tegas penerapannya, tetapi juga mampu mendorong pengelolaan perikanan berkelanjutan. Pasalnya, jumlah populasi beberapa spesies hiu dan manta yang berstatus langka itu, kini sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan dan tidak layak ditangkap lagi. Dibutuhkan waktu pemulihan untuk menyelamatkan spesies-spesies tersebut dari ancaman kepunahan.
Selanjutnya, Eco Diver Journalists juga mengajak perusahaan dan konsumen di Indonesia agar berhenti membeli, menjual atau mengonsumsi bagian tubuh dari hiu dan pari. Hal ini penting untuk mengurangi permintaan akan produk hiu dan pari manta, selama penangkapan hiu dan pari yang berkelanjutan, dan upaya memperbaiki peraturan perdagangan internasional untuk produk hiu dan pari belum dilakukan.
Sebuah laporan terkini yang dilakukan oleh Shark Specialist Group IUCN tahun 2014 menemukan bahwa hampir seperempat dari semua jenis hiu dan pari manta dunia terancam punah. Informasi selengkapnya bisa dilihat disini. (Red)
Tidak ada komentar